Trigona spp. merupakan jenis lebah madu yang tidak menyengat (stingless bee). Lebah Trigona ditemukan di daerah tropis dan sub tropis, seperti Australia, Afrika, Asia Tenggara, serta sebagian Meksiko dan Brazil. Lebah Trigona merupakan salah satu serangga yang hidup berkelompok dan membentuk koloni. Trigona memiliki pertahanan dengan cara menggigit musuhnya atau membakar kulit musuhnya dengan larutan basa. Organ vital (mata, hidung, dan telinga) musuh akan dikelilingi oleh lebah lain dalam satu koloninya. Lebah ini juga dilengkapi sistem kekebalan untuk menyerang serangga lainnya (Free, 1982). Lebah Trigona dalam bahasa daerah dinamakan klanceng, lenceng (Jawa), atau teuweul (Sunda) (Perum Perhutani, 1986).
Lebah Trigona hanya menghasilkan madu kurang lebih satu kilogram setiap tahunnya, sementara itu lebah madu jenis lainnya dapat menghasilkan sampai 75 kg madu per tahun. Lebah Trigona menghasilkan sedikit madu yang sulit diekstraksi, akan tetapi propolis yang dihasilkannya lebih banyak daripada jenis lebah lokal yang lain (Singh, 1962). Lebah Trigona berpotensi menghasilkan propolis jauh lebih banyak dibanding lebah lainnya karena propolis merupakan pertahanan utama yang dimiliki oleh lebah Trigona. Potensi lebah Trigona dalam menghasilkan propolis jauh lebih tinggi dibanding lebah lainnya dan mengingat bahwa harga propolis sangat mahal di pasaran, hal ini dapat menjadi peluang bagi masyarakat untuk dapat membudidayakan lebah Trigona (Djajasaputra, 2010).
Propolis adalah nama generik dari resin sarang lebah madu. Propolis berbentuk lengket seperti lem sehingga disebuAt bee glue. Propolis dikumpulkan lebah dari berbagai tumbuhan yang bercampur dengan saliva dan berbagai enzim lebah serta digunakan untuk membangun sarang. Sumber utama propolis adalah kuncup bunga (Bankova et al., 2000). Propolis digunakan oleh lebah untuk melapisi dinding bagian dalam sarangnya atau lubang-lubang tempat tinggalnya. Warna dan komposisi propolis berbeda-beda, mulai dari transparan, kuning, sampai coklat tua. Hal ini disebabkan oleh sumber tumbuhannya yang berbeda-beda (Woo, 2004).
Komponen utama dari propolis adalah flavonoid dan asam fenolat, termasuk CAPE yang kandungannya mencapai 50% dari seluruh komponen yang ada dalam propolis (Sabir, 2005). Kandungan dari propolis sebagian besar terdiri dari: resin (40-55%), lilin lebah dan asam lemak (20-35%), minyak aromatik (sekitar 10%), serbuk sari (sekitar 5%), dan komponen lain seperti mineral dan vitamin. Selain itu, di dalam propolis banyak pula terkandung berbagai senyawa kimia, antara lain asam amino, asam alifatik dan esternya, asam aromatic dan esternya, alkohol, aldehida, khalkon, dihidrokhalkon, flavon, flavanon, hidrokarbon, keton, dan terpenoid (Ramos dan Miranda, 2007). Komponen tersebut kaya akan vitamin B1, B2, B6, C, dan E serta elemen mineral, seperti Mg, Ca, I, K, Na, Cu, Zn, Mn, dan Fe. Propolis juga mengandung asam lemak dan enzim seperti succinic dehydrogenese, lukosa-6-fosfatae, adenosine trifosfat, dan asam fosfatise (Rajoo et al., 2014)
Propolis banyak dimanfaatkan dalam bidang pencegahan dan pengobatan penyakit serta industri makanan (Suranto, 2010). Propolis diketahui mempunyai khasiat aktivitas antibakteri, antifungi, antivirus, dan anti aktivitas biologi lain seperti anti inflamasi, anestesi lokal, hepatoprotektif, antitumor, dan imunostimulasi (Bankova et al., 2000). Khasiat propolis yaitu dapat mengurangi pembengkakan, mengurangi nyeri penyembuhan luka (Siregar et al., 2011). Berdasarkan khasiat-khasiat yang dimilikinya, maka propolis banyak dimanfaatkan sebagai obat-obatan. Propolis dapat digunakan untuk melawan bakteri penyebab radang tenggorokan, jamur penyebab infeksi kulit, virus penyebab flu, dan dapat pula digunakan untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh secara alami karena adanya bioflavonoid yang dapat membantu meningkatkan produksi serta aktivitas sel-sel imun (Bogdanov, 2017). Sediaan propolis telah digunakan untuk penyembuhan luka, regenerasi jaringan, luka bakar dan sakit gigi karena efek anestetik lokalnya lima kali lebih efektif daripada kokain (BPOM RI, 2006).
Inflamasi merupakan respon biologis kompleks jaringan vaskular yang berbahaya patogen, sel yang rusak, iritasi, dan radikal bebas. Inflamasi terjadi akibat dari reaksi tubuh terhadap invasi mikroorganisme patogen atau terhadap trauma karena luka, terbakar, atau bahan kimia. Pada bagian yang mengalami peradangan akan muncul tanda-tanda seperti: (1) Rubor atau kemerahan, (2) Tumor atau pembengkakan, (3) Dolor atau nyeri, (4) Kalor atau panas dan (5) Functio laesa atau hilangnya fungsi (Putri, 2014).
Propolis memiliki aktivitas anti inflamasi yang dapat meningkatkan sistem imun tubuh serta bermanfaat bagi kesehatan gigi dan mulut. Propolis memiliki khasiat sebagai anti inflamasi karena di dalam propolis terkandung CAPE (Caffeic Acid Phenetyl Ester). CAPE adalah senyawa kimia dalam propolis yang memiliki aktivitas sebagai penghambat peradangan (antiinflamasi), antikanker, imonomodulator, dan antioksidan karena CAPE mampu menghambat produksi reactive oxygen species (ROS). Selain itu, CAPE juga dapat digunakan sebagai irigasi saluran akar, pulp capping direct dan indirect, sebagai media penyimpanan gigi yang mengalami avulse, dan mengobati ulserasi pada rongga mulut (Mahmoud, 2006; Ardo, 2005).
CAPE berperan sebagai antiinflamasi dengan cara menekan aktivitas sel T. CAPE mampu menginhibisi Nuclear Transcription Factor Kappa B (NF-kB) dan stimulant IL-2 yang memacu poliferasi kerja dari sel T itu sendiri (Sabir, 2005). Mekanisme CAPE dalam perannya sebagai antiinflamasi adalah dengan menghalangi lipooksigenase dan siklooksigenase. Lipooksigenase merupakan enzim utama neutrofil yang nantinya akan menghasilkan senyawa leukotrin, sedangkan siklooksigenase menghasilkan prostaglandin yang akan menjadi mediator dalam reaksi radang. Adanya hambatan tersebut akan berpengaruh pada produksi leukotrin. Penurunan produksi leukotrin akan mempengaruhi aktivitas fagositosi neutrofil sehingga akan menekan proses inflamasi. Terhambatnya jalur lipooksigenase dan siklooksigenase oleh CAPE akan mengurangi terjadinya vasodilatasi pembuluh darah dan aliran darah akan berkurang sehingga migrasi leukosit (PMN) ke daerah radang juga menurun (Sabir, 2005; Bankova, 2009).
Beberapa penelitian lainnya menunjukkan bahwa mekanisme propolis sebagai antiinflamasi adalah dengan menginhibisi enzim LOX dan COX selama proses inflamasi. COX di inhibisi oleh flavonoid yang menekan prostaglandin endoperoxide synthase dalam konsentrasi tinggi yang bergantung pada sifat hidrofilik dan struktur, sedangkan LOX diinhibisi oleh komponen querecetin propolis dan flavonoid yang juga dapat menginhibisi akumulasi sel mast (Rajoo et al., 2014). CAPE dapat dengan mudah masuk ke dalam sel dan menginhibisi pelepasan sitokin inflamasi dan meningkatkan produksi sitokin antiinflamasi secara simultan seperti IL-10 dan IL-4. Stimulan IL-10 memiliki fungsi sebagai antiinflamasi yang dapat menurunkan regulasi produksi IL-5 oleh sel T, sedangkan IL-4 diketahui dapat menekan aktivitas sitotoksis makrofag, membunuh parasit, dan produksi nitric oxide yag diturunkan dari makrofag (Kiyota et al., 2010). Selain itu CAPE juga dapat mengurangi infiltrasi sel inflamasi neutrofil dan monosit (Rajoo et al., 2014).
Aktivitas antiinflamasi pada propolis telah dibuktikan oleh beberapa penelitian pada tikus percobaan, dimana efek ekstrak ethanol propolis sebagai anti peradangan pada kaki tikus menunjukkan efek yang signifikan dan mampu menghambat inflamasi, baik berupa inflamasi kronis maupun akut, yang mana dapat menghambat kerja mieloperoxidase, NADPH-oxidase ornithine decarboxilase, tirosine-proteinkinase, dan hyaluronidase. Selain itu, adanya flavonoid dan senyawa turunan asam sinamat pada propolis, termasuk acacetin, quercetin, naringenin, caffeic acid phenyl ester (CAPE), dan caffeic acid (CA) mampu menginhibisi silika yang menginduksi reactive oxygen species (ROS) dan menilitin sehingga dapat menginduksi pelepasan asam arakidonat, produksi PGE2, dan pelepasan histamin (Djajasaputra, 2010).
Beberapa penelitian lainnya, baik secara in vitro maupun in vivo berhasil membuktikan peran CAPE sebagai modulator dari asam arakidonat kaskade dan sebagai penghambat aktivitas cyclooxygenase-2 di dalam sel epitel mulut manusia dengan menekan peradangan akut pada inflamasi. Penelitian yang dilakukan oleh Iswanto et al. (2016), berhasil dibuktikan bahwa aplikasi topikal propolis 10% secara klinis dapat mempercepat penyembuhan luka dan inflamasi pasca pencabutan gigi. Selain itu, penelitian juga berhasil membuktikan bahwa CAPE dapat mempercepat penyembuhan luka pada kulit (Refa dan Ayu, 2013; Sarsono et al., 2012).
Kontributor : Nastasya Putrinda Editha
DAFTAR PUSTAKA
Ardo, S. 2005. Respons Inflamasi pada Pulpa Gigi Tikus Setelah Aplikasi Ekstrak Etanol Propolis (EEP). Dental Journal 38 (2): 77 – 83.
Bankova, V. 2009. Chemical Diversity of Propolis Makes It a Valuable Source of New Biologically Active Compounds. Journal of ApiProduct and ApiMedical Science 1 (2): 23 – 28.
Bankova, V. S., de Castro, S. L., dan Marucci, M. C. 2000. Propolis: Recent Advances in Chemistry and Plant Origin. Apidologie 31: 3 – 15.
Bogdanov, S. 2017. Propolis: Composition, Health, Medicine: A Review. Bee Product Science: 1 – 44.
BPOM RI. 2006. Uji Pendahuluan Aktivitas Antikanker dari Propolis dan Komponen Aktifnya. Info POM, Jakarta.
Djajasaputra, M. R. S. 2010. Potensi Budidaya Lebah Trigona dan Pemanfaatan Propolis Sebagai Antibiotik Alami Untuk Sapi PO. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Free, J. B. 1982. Bees and Mankind. George Allen and Unwin, London
Iswanto, H., Kuswandari, S., dan Mahendra, P. K. W. 2016. Pengaruh Aplikasi Topikal Propolis 10% Terhadap Penyembuhan Luka Pasca Pencabutan Gigi Desidui Persistensi (Kajian Pada Anak Usia 6-10 Tahun). Jurnal Kedokteran Gigi 7 (2): 80 – 85.
Kiyota, T., Okuyama, S., Swan, R. J., Jacobsen, M. T., Gendelman, H. E., dan Ikezu, T. 2010. CNS Expression of Anti-Inflammatory Cytokine Interleukin-4 Attenuates Alzheimer’s Disease-Like Pathogenesis In APP+PS1 Bigenic Mice. The FASEB Journal 24 (8): 3093 – 3102.
Mahmoud, L. 2006. Biological Activity of Bee Propolis in Health and Disease. Asian Pasific Journal of Cancer Prevention 7 (1): 22 – 31.
Perum Perhutani. 1986. Pembudidayaan Lebah Madu Untuk Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat. Prosiding Lokakarya. Sukabumi, 20-22 Mei 1986. Perum Perhutani, Jakarta.
Putri, M. D. 2014. Caffeic Acid Phenethyl Ester (CAPE) Propolis dan Matrix Metalloproteinase 8 (MMP-8) dalam Proses Inflamasi. Skripsi. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin, Makassar.
Rajoo, M., Parolia, A., Pau, A., Amalraj, F. D. 2014. The Role of Propolis in Inflammation and Orofacia Pain: A Review. Annual Research & Review in Biology 4 (4): 651 – 664.
Ramos, A. F. N. dan Miranda, J. L. 2007. Propolis: A Review of Its Antiinflammatory and Healing Actions. Journal of Venomous Animals and Toxins Including Tropical Diseases 13 (4): 697 – 710.
Refa, S. dan Ayu, T. 2013. Caffeic Acid Phenethyl Ester Menurunkan Ekspresi Endoglin Pada Kultur HUVECs yang Dipapar Glukosa Tinggi. Jurnal Kedokteran Brawijaya 27 (4): 196 – 200.
Sabir, A. 2005. Aktivitas Antibakteri Flavonoid Propolis Trigona sp Terhadap Streptococcus mutans (In Vitro). Dental Journal 38 (3): 135 – 141.
Sarsono, Syarifah, I., Martini, dan Diding, H. 2012. Identifikasi Caffeic Acid Phenethyl Ester dalam Ekstrak Etanol Propois Isolat Gunung Lawu. Jurnal Bahan Alam Indonesia 8 (2).
Singh, S. 1962. Beekeeping in India. Indian Council of Agricultural Research, New Delhi.
Siregar, H. C. H., Fuah, A. M., dan Octavianty, Y. 2011. Propolis Madu Multikhasiat. Penebar Swadaya, Jakarta.
Suranto, A. 2010. Dahsyatnya Propolis Untuk Menggempur Penyakit. Agro Media Pustaka, Jakarta.
Woo, K. S. 2004. Use of Bee Venom and Propolis for Apitherapy in Korea. In: Proceeding of the 7th Asian Apicultural Association and 10th BEENET Symposium and Technofora; Los Banos, 23-27 Februari 2004. University of Philippines, Los Banos, 311-315.